Sejarah dan Implikasi Pendidikan Multikultural

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Sejarah Pendidikan Multikultural

Pendidikan multikultural merupakan fenomena yang relatif baru di dalam dunia pendidikan. Sebelum Perang Dunia II, boleh dikatakan pendidikan multikultural belum dikenal. Malahan pendidikan dijadikan sebagai alat politik untuk melanggengkan kekuasaan yang memonopoli sistem pendidikan untuk kelompok tertentu. Dengan kata lain pendidikan multikultural merupakan gejala baru di dalam pergaulan umat manusia yang mendambakan persamaan hak, termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan yang sama untuk semua orang (education for all).
H. A. R. Tilaar menegaskan setidaknya ada beberapa kekuatan di dunia yang telah melahirkan pendidikan multikultural, yaitu :
1.      Proses Demokratisasi dalam Masyarakat
     Sungguhpun paham demokrasi telah seumur kehidupan manusia di dunia ini, tapi pelaksanaannya tersendat-sendat, tidak merata dalam berbagai kelompok kehidupan manusia. Di dalam kehidupan manusia dikenal kelompok-kelompok yang menganggap dirinya mempunyai hak istimewa termasuk hak untuk memperoleh pendidikan yang tidak dinikmati oleh kelompok lainnya. Oleh sebab itu di dalam masyarakat yang demikian terdapat kelompok-kelompok masyarakat yang tersisihkan dalam pendidikan
    .Perjuangan untuk memperoleh pendidikan dari kelompok-kelompok yang tersisihkan tersebut antara lain merupakan salah satu perjuangan melawan opresi kolonialisme. Baik di negara-negara demokrasi maupun di negara-negara totaliter terdapat perbedaan perlakuan terhadap kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Perbedaan tersebut ada yang didasarkan kepada perbedaan ras, ideologi, etnik, dan yang lainnya. Misalnya perbedaan-perbedaan yang dulu terjadi di Afrika Selatan dengan politik segragasinya yang mengasingkan antara kelompok berkulit putih dengan hak-hak istimewanya, termasuk hak pendidikan, dan kelompok kulit berwarna terutama ras Afrika yang selalu disepelekan.
      Oleh sebab itu, pendidikan multikulturalisme berjalan bergandengan dengan proses demokratisasi di dalam kehidupan masyarakat. Proses demokratisasi tersebut dipicu oleh pengakuan terhadap hak asasi manusia yang tidak membedakan perbedaan-perbedaan manusia atas warna kulit, agama, dan gender. Semua manusia diciptakan oleh Tuhan dengan martabat yang sama tanpa membedakan akan warna kulit, asal usul, agama, dan jenis kelamin.
2.      Pembangunan Kembali Sesudah Perang Dunia II
     Sesudah Perang Dunia II terjadi perubahan besar di dalam tata kehidupan antar bangsa.yang ingin membangun kembali puing-puing kehancuran Perang Dunia II di Eropa. Seiring dengan pembangunan kembali Eropa adalah berakhirnya kolonialisme dengan lahirnya negara-negara baru, terutama Afrika. Penduduk eks koloni memasuki Perancis dan Inggris dan menjadi pekerja-pekerja yang dibutuhkan di dalam pembangunan kembali negara-negara itu. Migrasi penduduk, khususnya migrasi pekerja, lama-kelamaan meminta perlakuan yang adil terutama bagi generasi mudanya yang menuntut adanya pendidikan yang baik. Migrasi penduduk dunia lebih diintensifkan dengan adanya kemudahan-kemudahan yang disebabkan oleh kemajuan teknologi transfortasi darat, laut, dan terutama transfortasi udara.
3.       Lahirnya Paham Nasionalisme Kultural
      Dengan munculnya berbagai kelompok bangsa bermukim di negara-negara maju yang semakin pesat, lama kelamaan membentuk sesuatu kekuatan sendiri atau menuntut hak-haknya sebagai “warga negara” yang baru. Dari situ kemudian lahirlah kelompok-kelompok etnis baru dengan kebudayaannya masing-masing, memberikan warna baru dalam kebudayaan tuan rumah yang sebelumnya sedikit banyak bersifat homogen.
      Sejalan dengan perkembangan paham demokrasi dan hak asasi manusia di atas, kelompok-kelompok etnis baru tersebut mulai melebur di dalam etnismainstream. Dengan adanya kelompok-kelompok baru ini, munculah paham nasionalisme baru yang tidak lagi berkonotasi etnis tetapi lebih merupakan pengertian kultural. Di situlah nasionalisme kultural mulai lahir menggantikan nasionalisme etnis, dan pendidikan juga mulai terbuka untuk kebutuhan kelompok-kelompok etnis baru, sekaligus mempersiapkan paradigma baru bagi kelompok mayoritas dengan kebudayaan mainstreamnya.
    Dari gelombang-gelombang peruhan tersebut di atas itulah yang melahirkan pendidikan multikultural di berbagai negara dengan berbagai coraknya masing-masing. Seperti di Amerika Serikat kita melihat perkembangan pendidikan multikultural yang berawal dari penghapusan segregasi dari kelompok warga negara Amerika yang berasal dari Afrika (American Afrika) yang ditantang sangat keras oleh gerakan-gerakan Civil Rights yang dipelopori oleh Dr. Martin Luther King. Gerakan Civil Rights ini lebih memacu lagi lahirnya pendidikan multikultural sejak dekade 70-an abad ke-20.
     Gerakan demokratisasi pendidikan yang diwujudkan di dalam pendidikan multikultural di Amerika akhirnya juga berimbas di negara tetangganya, Kanada. pendidikan multikultural di Kanada mempunyai wajah yang berlainan karena sejak semula sebagian dari negara Kanada mengenal budaya yang belainan, yaitu budaya Prancis di negara bagian Quebec. Perkembangan pendidikan multikultural di Kanada dengan demikian lebih bersifat progresif dibandingkan dengan negara tetangganya.
    Di Jerman dan Inggris, pendidikan multikultural dipacu oleh migrasi penduduk akibat pembangunan kembali Jerman atau migrasi dari eks jajahan Inggris memasuki Inggris Raya. Kebutuhan akan kelompok-kelompok etnis baru ini terhadap pendidikan generasi mudanya telah meminta paradigma baru di dalam pendidikan yang melahirkan pendidikan multikultural.
     Kemudian juga di Australia, pendidikan multikultural mendapatkan momentumnya dengan perubahan politik luar negri Australia. Seperti diketahui Australia merupakan suatu negara yang relatif tertutup bagi kelompok kulit berwarna. White man policy yang belum lama ditinggalkan oleh pemerintah Australia telah menyebabkan migrasi dari kelompok-kelompok etnis bukan hanya dari Eropa tetapi juga dari Asia seperti India,Cina, Vietnam, dan juga dari Indonesia.
     Dari pengalaman negara-negara tersebut di atas yang telah menerapkan praksis pendidikan multikultural kita dapat mengambil manfaatnya sebagai modal dasar penerapan pendidikan multikultural di Indonesia, meski kita sadari bahwa penerapan pendidikan multikultural di negara-negara tersebut sifatnya lain bila dibandingkan dengan di Indonesia. Penerapan pendidikan multikultural di negara-negara tersebut di atas seakan-akan bertentangan dengan budaya homogen, tetapi di Indonesia pendidikan multikultural dapat diterapkan dalam perspektif pluralitas bangsa Indonesia.

B.     Sejarah Pendidikan Multikultural dan Implikasinya Terhadap Pengembangan Pendidikan Multikultural

 

Untuk pengembangan Pendidikan Multikultural di Indonesia, kita juga perlu memahami sejarah singkat Pendidikan Multikultural sebagai dasar pijak kita dalam menentukan arah pengembangan.
Konsep pendidikan multikultural di negara-negara seperti Amerika Serikat dan Kanada yang menganut konsep demokratis karena sejak kelahiran dan sejarahnya memang bercorak multikultural, hal ini bukan barang baru lagi. Mereka telah berupaya melenyapkan diskriminasi rasial untuk tujuan memajukan dan memelihara integritas nasional. Pendidikan Multikultural sebagai konsep senantiasa berkembang dan beragam. Pentinglah untuk meninjau kembali dasar-dasar historis yang dapat dijadikan sebagai akar darimana Pendidikan Multikultural itu dikembangkan di Indonesia. Dengan mempelajari sejarah akan dapat kita ketahui bentuk awal Pendidikan Multikultural dan perubahannya serta kondisi sosial yang memunculkannya.
Akar sejarah Pendidikan Multikultural bermula pada gerakan hak-hak sipil dari berbagai kelompok yang secara historis memang selalu terabaikan dan tertindas. Pendidikan Multikultural timbul dari munculnya gerakan hak-hak sipil di Amerika tahun 1960-an yang mulai menyadari dan menuntut hak yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tujuan utamanya menghilangkan diskriminasi dalam akomodasi umum, perumahan, tenaga kerja, dan pendidikan. Gerakan hak-hak sipil ini berimplikasi terhadap:
a.       berdirinya lembaga pendidikan bagi kelompok etnis. Awalnya hanya pada sekolah untuk orang Amerika keturunan Afrika dan kemudian kelompok lain.
b.       reformasi kurikulum sehingga sekolah dan lembaga pendidikan yang lain merefleksikan pengalaman, sejarah, budaya dan perspektif mereka.
c.       kenaikan upah bagi guru dan administrator sekolah kulit hitam dan berwarna lain.
d.       adanya kontrol masyarakat terhadap sekolah.
e.      revisi buku teks agar merefleksikan keberagaman orang di AS.
Respon awal para pendidik terhadap gerakan ini nampak tergesa-gesa. Program dan pelajaran dikembangkan tanpa pemikiran dan perencanaan yang hati-hati dan sekedar memberi kesan edukatif atau melembaga dalam sistem pendidikan. Karakteristik dominan dari reformasi sekolah yang berkaitan dengan keberagaman etnis dan budaya selama tahun 1960-an dan awal 1970-an adalah adanya program Hari Libur dan hari khusus lain, perayaan etnis, dan pelajaran yang berfokus pada satu kelompok etnis. Bidang studi etnis yang dikembangkan dan diimplementasikan selama periode ini biasanya bersifat pilihan dan diambil terutama oleh siswa yang menjadi anggota kelompok itu.
Keberhasilan yang nyata dari gerakan hak sipil, ditambah pertumbuhan yang cepat, dan atmosfir nasional yang bebas telah merangsang kelompok korban yang lain untuk mengambil tindakan dalam menghilangkan diskriminasi terhadap mereka dan menuntut agar sistem pendidikan itu dikaitkan dengan kebutuhan, aspirasi, budaya dan sejarah mereka. Pada akhir abad 20 gerakan hak perempuan muncul sebagai satu dari gerakan reformasi sosial paling signifikan. Pemimpin gerakan ini seperti Betty Frie dan Gloria Steinem menuntut lembaga politik, sosial, ekonomi, dan pendidikan melakukan tindakan untuk menghilangkan diskriminasi gender serta memberi kesempatan bagi perempuan untuk mengaktualisasi bakatnya dan mewujudkan ambisinya. Sekalipun sebagian besar guru di sekolah dasar adalah perempuan, sebagian besar administrator masih dipegang oleh kaum pria.
Tujuan utama dari gerakan hak perempuan adalah:
a.       upah yang sama atas kerja yang sama,
b.       penghapusan aturan hukum yang mendiskriminasikan wanita dan pria,
c.       penghapusan terhadap hal-hal yang membuatnya menjadi warga negara kelas dua,
d.       menuntut adanya partisipasi yang lebih besar dari kaum pria untuk terlibat dalam pekerjaan rumah tangga dan membesarkan anak.
Ternyata gerakan hak perempuan ini sekarang berpengaruh kuat di Indonesia akhir- akhir ini. Muncul berbagai seminar, kajian ilmiah, penelitian, dan organisasi perempuan yang menuntut hak yang lebih baik bagi kaum perempuan. Bahkan secara politik, kelompok ini telah berhasil mengakomodasikan gerakan dan ide mereka dalam bentuk Amandemen UUD yang menuntut agar anggota dewan (DPR) harus memasukkan kaum perempuan minimal 30 % sebagai anggota dewan.
Ketika feminis melihat lembaga pendidikan, mereka mencatat masalah-masalah yang sama dengan yang diidentifikasi oleh kelompok etnis dari kulit berwarna. Ada kesamaan masalah antara kelompok feminis dan kelompok etnis kulit berwarna. Buku teks dan kurikulum didominasi oleh pria dan tidak begitu nampak unsur perempuan di dalamnya. Feminis menunjukkan bahwa buku teks sejarah didominasi oleh sejarah politik dan militer yang merupakan bidang-bidang yang memang partisipan utamanya adalah pria. Sebagian besar mengabaikan sejarah sosial dan keluarga, sejarah buruh dan orang-orang biasa. Feminis mendesak untuk revisi buku teks dengan memasukkan lebih banyak sejarah tentang peranan penting dari perempuan dalam perkembangan negara dan dunia.
Kelompok korban yang lain memerinci keluhan mereka dan menuntut lembaga- lembaga itu direformasi sehingga diskriminasi itu berkurang dan memperoleh hak-hak asasi manusia yang lebih baik. Orang dengan ketidakmampuan/cacat, warga negara senior, dan hak-hak kaum gay merupakan salah satu di antara kelompok yang terorganisir secara politis selama periode ini dan membuat terobosan signifikan dalam mengubah lembaga dan aturan hukum. Pendukung bagi warga negara cacat mencapai kemenangan legal yang signifikan selama tahun 1970-an. The Education for All Handicapped Children Act 1975 (pasal/hal P.L.94 – 142) yang mengharuskan siswa yang tidak mampu/cacat dididik dalam lingkungan terbatas dan dalam lembaga tertentu merupakan kemenangan legal paling signifikan dari gerakan hak-hak siswa yang tidak mampu/cacat dalam bidang pendidikan.

Daftar Pustaka
Surtano.(2007).Pendidikan Multikultural. Jakarta: Depdiknas

Download "clik" versi word  "klik GET LINK"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan praktikum : UJI ENZIM KATALASE

RPP PEMBELAJARAN TERPADU MODEL WEBBED

makalah strategi,metode, teknik, model pembelajaran seni tari di SD